Memburu Kabar

Memburu Kabar
@PakuanUniversity

Kamis, 26 Mei 2011

Rumah Budaya Depok

Pertunjukan Seni Tradisional dan Temporer Sebagai Peresmian Rumah Budaya Depok


 
Kesenian tradisional adalah identitas sebuah negara. Namun hal itu mulai tergerus zaman dengan budaya yang datang dari luar yang siap menggantikan budaya pribumi akibat canggihnya teknologi. Dibutuhkannya sebuah wadah untuk melestarikan kesenian tradisional dan budaya, seperti keberadaan Rumah Budaya yang kemarin launching di Depok.
Acara yang diadakan pada hari sabtu malam 21 May 2011 berjalan lancar dan meriah. Dengan beberapa kesenian tradisional, drama, dan pembacaan puisi, serta seni temporer, Rumah Budaya Depok resmi dibuka berlokasi di Jl. Nangka Raya Ujung No 1001. Didirikannya berawal keberadaan seniman-seniman di daerah Depok ingin kebudayaan indonesia khususnya di Depok agar keberadaan kesenian tidak hilang dan luntur digerus zaman.
Gagasan terbentuknya Rumah Budaya Depok adalah ingin memberikan ruang berkreasi, bereksperimen, dan berkreatifitas bagi para pelaku seni. Pengenjawantahan (perpaduan) dari sebuah rasa membutuhkan banyak elemen dan menjadi elemen tersebut.
Rumah Budaya adalah wadah para pelaku seni budaya yang terdiri dari sanggar, padepokan dan kelompok lainnya. Sehingga banyak sanggar di Depok bergabung dan berkumpul  untuk berkarya di Rumah Budaya Depok. Sanggar-sanggar yang bergabung diantaranya Sanggar Garuda, Sanggar Saung Rasyid, Sanggar Kanaka (teater anak), Sanggar Lumbung (teater anak), Sanggar Rajapala, Sanggar Serif, Sanggar Gedeg, Sanggar Ayodyapala (tari), Kelompok Degung, Kelompok Cerutu (musikalisasi puisi dan wayang listrik), Purwacaraka, Padepokan Saung Basek (musik basek), dan Arizal Nur (puisi).
Acara yang diawali kata sambutan, pembacaan doa, penabuhan gong dan pemotongan tumpeng sebagai simbol peresmian telah dibukanya Rumah Budaya Depok. Dalam acara ini dihadiri oleh kalangan masyarakat sekitar, mahasiswa, pelajar serta dihadiri wakil ketua DPRD Kota Depok yaitu Bapak Prihandoko. Penampilan pertama diawali dengan tarian tradisional Depok oleh tiga anak perempuan. Mereka mengenakan kostum tradisional namun sedikit ada sentuhan atau ornamen agar terlihat indah dengan setuhan bemacam-macam warna.
Permainan ular naga panjang yang diperankan oleh anak-anak dengan mengenakan kostum tikus sambil bernyanyi-nyanyi riang. Selain itu di disisipi cerita tentang tikus yang saling bersama-sama ketika menghadapi binatang predator. Pertunjukan ini merupakan teater dari Rumah Budaya itu sendiri. Kesan dari drama ini lucu dan menggemaskan pasalnya terdapat beberapa anak kecil, inti dari teater ini seperti istilah Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Runtuh.  
Puisi yang dibacakan oleh Bapak Getson, isi puisi itu sendiri tentang sorang wanita malam sebatang kara yang tidak mendapat perhatian dari petinggi-petinggi negara. beliau merupakan penulis puisi berbakat dan tulisannya sering dimasukan ke majalah-majalah. Selain itu menjual karya puisinya di seluruh Nusantara, akibat karyanya pada tahu 1970-an beliau mendapat penghargaan dan hadiah dari ASEAN. Hadiahnya beliau belikan sebidang tanah dan membangun sanggar di Depok tengah yang sekarang menjadi Sanggar Budaya.
Terdapat kesenian baru yang terbuat dari bambu yang diberi senar dimainkan-nya secara digesek yaitu Basek (bambu gesek)  yang dimainkan oleh Joko Yongono. Lagu yang dimainkan adalah dari daerah jawa yaitu lir-ilir, ”alat musik ini berawal dari rasa kebutuhan seni, awalnya adalah pemain Gitar dan alat musik yang kurang mendukung yang akhirnya mencari ilmu sendiri dari kecil dan membuat alat musik sendiri. Sedangkan alat musik Basek ini terinspirasi dari bangunan Saung Bambu selain itu alat musik lainnya yang terbuat dari bahan yang sama seperti Selo Basek dan Kecapi Bambu” ujar Joko setelah memainkan musik. Awalnya Joko ini bercita-cita menjadi arsitek dan belajar mengukir hingga akhirnya tertarik dengan bambu akhirnya lahirlah alat musik Basek, Selo Basek dan Kecapi Bambu.
Barunya alat musik ini belum mendapat hak paten dan belum menjadi musik daerah. ”Jika alat musik Basek ini akan menjadi musik daerah seperti Kota Depok, saya terserah saja kepada pihak yang mau menjadikan seperti itu dan saya senang-senang saja”, ujar Joko sembari senyum.
Berbeda dengan Bapak Getson,  musikalisasi puisi dari Bahtera Cerutu ini diiringi musik seperti Biola, Kendang, dan Gitar. Puisi yang dibacakan lebih dramatis karena penuh ekspresi dan musik yang mendukung disetiap baitnya.
 Ekspresi saat musikalisasi puisi dari Bahtera Cerutu
Pertunjukan seni Wayang Listrik ditunggu-tunggu oleh penontonnya karena  keunikan dari namanya. Pertunjukan ini sekaligus sebagai penutup launching Rumah Budaya. Wayang Listrik adalah perpaduan antara teater ekspresi ballet dan permainan refleksi dari permainan tangan dan sastra atau bisa disebut seni kontemporer. Meskipun namanya Wayang Listrik tapi tidak terlihat kilatan listrik seperti yang dibayangkan namun kesenian ini seperti wayang pada umumnya tetapi keluar dari pakemnya. Dari cara memainkan tidak seperti wayang biasanya, dalang tidak berpakaian seperti dalang yang memakai blangkon, disetiap ceritanya tidak diiringi sinden. Dalam ceritanya tidak mengambil karya dari Mahabrata dan Ramayana.
Wayang Listrik di sini mengambil cerita dari negeri antah brantah, wayang ini juga mendapat unsur sastra. Malam itu Wayang Listrik mengambil judul Runtuhnya Negeri Suradaha cerita ini merupakan refleksi bangsa Indonesia. Dalam penceritaanya mengambil tema klasik dari zaman pra kuno dari negeri antah brantah namun teknik pakem-nya mengambil teknik daya pra-khusus Kalimantan Selatan.
Rumah Budaya ini merupakan tempat semua seni dan para seniman seperjuangan WS. Rendra di Kota Depok yang akan menjadi ikon Depok. Rencananya Rumah Budaya ini akan mengadakan kegiatan rutin yaitu pada minggu ke-2 setiap bulannya dan terbuka untuk umum.